Gedung DPR/MPR RI. (Adhi Wicaksono).
Komisi I DPR RI mengkritik negara bisa rugi karena kehilangan sumber pajak jika Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik (PSTE) tetap diimplementasikan tanpa perubahan klausul.
Dalam beleid itu pasal 21 ayat 1 disebutkan, Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat dapat melakukan pengelolaan, pemrosesan, dan/atau penyimpanan sistem elektronik dan data elektronik di wilayah Indonesia dan/atau di luar wilayah Indonesia.
Anggota Komisi I DPR Bobby Rizaldi mengatakan dengan hadirnya pasal tersebut, pemerintah tak bisa mengenakan pajak terhadap pemrosesan sistem dan data elektronik karena mengizinkan keduanya berada di luar wilayah Indonesia.
"Kami hanya mau menggali lebih dalam dari satu pasal tersebut karena itu lah yang menjadi kontroversial di publik dan yang selalu disebutkan oleh presiden, data itu adalah kekayaan baru," kata Bobby usai melakukan rapat kerja dengan Kemenkominfo, di Gedung DPR, Selasa (5/11).
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengatakan bahwa data lebih berharga dari minyak bumi. Berlandaskan pernyataan tersebut, Bobby menilai PSE yang beroperasi di Indonesia seharusnya dipaksa mendirikan pusat data di Indonesia, bukannya membiarkan berada di luar Indonesia.
lewat aturan yang merevisi PP Nomor 82 Tahun 2012 tersebut.
"Kalau alasannya tidak tersedia layanan, ya kenapa itu tidak diregulasikan. Kalau aturan ini malah pasti membangkitkan industri layanan pemrosesan data di luar negeri," kata Bobby.
Menurut Bobby, Google Apps hingga Facebook hanya berstatus sebagai penambang data. Pundi-pundi justru didapatkan ketika memroses data.
"Kita ingin pemrosesan data tersebut yang ada di Indonesia. Setiap mereka menjual datanya, pemerintah mengenakan pajak. Setiap mereka menggunakan data itu untuk kepentingan komersial pemerintah mendapatkan kontribusi juga," katanya.
Namun, hal yang terjadi saat ini adalah perusahaan asing mengambil data di Indonesia, kemudian memroses dan mengolah data di luar negeri. Pada akhirnya, aktivitas itu justru membuat negara tidak mendapat keuntungan.
"Tidak ada gunanya data miner, itu ada gunanya menjadi komersial kalau sudah diproses menjadi informasi perilaku konsumen, nah ini bisa dijual," tutur Bobby.
Sebelumnya, Anggota Komisi I DPR, Sukamta mengatakan PP PSTE ini bisa merugikan negara sebesar Rp85,2 triliun atau setara dengan 0,45 persen Pendapatan Domestik Bruto (PDB) 2021.
"Ini ekonomi dengan menaruh data di luar negeri juga kalkulasinya ada tapi kira-kira kami buat estimasi 2021 kalau penempatan Data Center itu ditaruh di luar ini bisa merugikan 0,45 persen PDB," ujar Sukamta.
Tulisan ini merupakan bagian dari fokus Polemik PP PSTE
sumber: https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20191106123725-185-446065/dpr-kritik-pp-pste-bisa-hilangkan-sumber-pajak
Komisi I DPR RI mengkritik negara bisa rugi karena kehilangan sumber pajak jika Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik (PSTE) tetap diimplementasikan tanpa perubahan klausul.
Dalam beleid itu pasal 21 ayat 1 disebutkan, Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat dapat melakukan pengelolaan, pemrosesan, dan/atau penyimpanan sistem elektronik dan data elektronik di wilayah Indonesia dan/atau di luar wilayah Indonesia.
Anggota Komisi I DPR Bobby Rizaldi mengatakan dengan hadirnya pasal tersebut, pemerintah tak bisa mengenakan pajak terhadap pemrosesan sistem dan data elektronik karena mengizinkan keduanya berada di luar wilayah Indonesia.
"Kami hanya mau menggali lebih dalam dari satu pasal tersebut karena itu lah yang menjadi kontroversial di publik dan yang selalu disebutkan oleh presiden, data itu adalah kekayaan baru," kata Bobby usai melakukan rapat kerja dengan Kemenkominfo, di Gedung DPR, Selasa (5/11).
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengatakan bahwa data lebih berharga dari minyak bumi. Berlandaskan pernyataan tersebut, Bobby menilai PSE yang beroperasi di Indonesia seharusnya dipaksa mendirikan pusat data di Indonesia, bukannya membiarkan berada di luar Indonesia.
lewat aturan yang merevisi PP Nomor 82 Tahun 2012 tersebut.
"Kalau alasannya tidak tersedia layanan, ya kenapa itu tidak diregulasikan. Kalau aturan ini malah pasti membangkitkan industri layanan pemrosesan data di luar negeri," kata Bobby.
"Kita ingin pemrosesan data tersebut yang ada di Indonesia. Setiap mereka menjual datanya, pemerintah mengenakan pajak. Setiap mereka menggunakan data itu untuk kepentingan komersial pemerintah mendapatkan kontribusi juga," katanya.
Namun, hal yang terjadi saat ini adalah perusahaan asing mengambil data di Indonesia, kemudian memroses dan mengolah data di luar negeri. Pada akhirnya, aktivitas itu justru membuat negara tidak mendapat keuntungan.
"Tidak ada gunanya data miner, itu ada gunanya menjadi komersial kalau sudah diproses menjadi informasi perilaku konsumen, nah ini bisa dijual," tutur Bobby.
Sebelumnya, Anggota Komisi I DPR, Sukamta mengatakan PP PSTE ini bisa merugikan negara sebesar Rp85,2 triliun atau setara dengan 0,45 persen Pendapatan Domestik Bruto (PDB) 2021.
"Ini ekonomi dengan menaruh data di luar negeri juga kalkulasinya ada tapi kira-kira kami buat estimasi 2021 kalau penempatan Data Center itu ditaruh di luar ini bisa merugikan 0,45 persen PDB," ujar Sukamta.
Tulisan ini merupakan bagian dari fokus Polemik PP PSTE
sumber: https://www.cnnindonesia.com/teknologi/20191106123725-185-446065/dpr-kritik-pp-pste-bisa-hilangkan-sumber-pajak